Sabtu, 19 September 2009

Pengaruh Media Dalam Kehidupan Masyarakat

Beberapa tahun belakangan ini, media berkembang dengan sangat pesat. Berbagai macam informasi, edukasi, hiburan, dan sebagainya dapat diakses dengan mudah oleh khalayak umum melalui media. Misalnya melalui koran, televisi, internet, billboard, selebaran, dan lain-lain. Media juga memiliki kebebasan memberitakan hal-hal umum, isu-isu yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Namun, semuanya tetap diatur oleh undang-undang yang berlaku.
Media dapat berdampak positif maupun negatif. Apabila ada suatu media yang menyebarkan informasi-informasi yang menyesatkan akan membuat isu yang meresahkan dalam masyarakat. Akhir-akhir ini, banyak tayangan berita yang menanyangkan reka ulang suatu kriminal secara terperinci. Hal ini akan mempengaruhi tingkat kriminal masyarakat karena masyarakat dapat belajar dari tayangan ini. Tidak hanya tayangan berita tersebut, tontonan film action yang menampilkan modus-modus kriminal seperti membuka kunci pintu dengan kawat, memalsukan sidik jari, menipu polisi, dan sebagainya juga berpotensi sebagai media pembelajaran kriminal. Keadaan masyarakat yang cenderung melakukan imitasi terhadap sesuatu membuat mereka berkeinginan untuk melakukan hal-hal yang sama persis dengan apa yang dilakukan oleh tokoh yang mereka banggakan.
Proses imitasi tersebut bisa berakibat positif maupun negatif. Berhubung kecendurangan masyarakat adalah meniru hal-hal yang negatif, maka tindak kriminalitas yang terjadi pun menjadi besar. Melalui makalah ini, kami akan memaparkan dampak yang akan ditimbulkan oleh media yang ada kaitannya dengan proses imitasi.

Permasalahan

1. Berdasar data dari Associated Press, negara kita merupakan negara kedua setelah Rusia yang paling banyak menebarkan pornografi dan pornoaksi
2. Setelah mengetahui tahapan-tahapan pertumbuhan manusia , dapat dilihat di mana sebenarnya peran media –baik cetak maupun elektronik- dalam menimbulkan ‘budaya baru’ dalam kehidupan manusia. Celah-celah kecil yang ada pada setiap tahap perkembangan manusia adalah lahan empuk yang gampang ditembus oleh kekuatan media.
3. Sekarang, perkembangan media informasi dan komunikasi semakin meluas. Sarana informasi bertebaran di mana-mana. Di satu sisi, tidak dapat disangsikan lagi keurgenan media ini. Namun, jika tidak hati-hati hal ini justru akan menimbulkan masalah baru.
4. Di mata media, di satu sisi ada sebuah idealisme yang coba mereka usung, namun beban hidup mengatakan bisnis adalah hal yang patut diperhitungkan.
5. Masa kanak-kanak, dan remaja di samping merupakan masa yang menarik bagi setiap orang, juga merupakan masa yang berbahaya. Kesukaan mereka meniru dan rasa ingin tahu mereka yang besar mempunyai potensi yang sama untuk mengarah secara positif maupun negatif. Hurlock juga menambahkan bahwa pada masa-masa bayi terjadi berbagai peristiwa yang pada masa kanak-kanaknya akan berkembang membentuk kepribadiannya,dan media sangat mempengaruhinya.
6. Anak (bahkan) mempunyai kecenderungan untuk meniru hal-hal yang bersifat ‘membahayakan’ –baik secara fisik atau mental- dikarenakan rasa ingin tahunya itu tanpa mempertimbangkan apakah hal itu berpengaruh pada dirinya atau orang lain.
Perkembangan media massa di Indonesia sekarang ini sangat lah pesat. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya berbagai macam perusahaan yang berkecimpung dalam bidang media seperti pertelevisian, koran, radio, dan lain sebagainya. Jika melihat pada tujuan utama dari media, kita akan mengetahui bahwa media bertujuan untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat. empat pengaruh media dalam politik bagi masyarakat yaitu:
(a) penambahan informasi, Hampir sebagian besar orang dewasa menyatakan bahwa mereka mendapatkan hampir seluruh informasi tentang berbagai peristiwa dunia maupun nasional dari media massa. Secara umum, studi telah menunjukkan bahwa masyarakat yang banyak mengkonsumsi media biasanya memiliki pengetahuan yang lebih baik dan aktual daripada yang tidak atau kurang memanfaatkan media.
(b) kognitif, Media memiliki kemampuan untuk ‘mengatur’ masyarakat, not what to think, but what to think about. Penjelasan pada kalimat yang  ‘indah’ ini ialah media cenderung mengarahkan masyarakat memikirkan hal-hal yang tersaji dalam menunya, bukan apa yang sebenarnya terjadi di sekitar masyarakat itu sendiri.
(c) perilaku memilih, hal tersebut dapat dilihat pada saat menjelang pemilihan umum. Peran utama media dalam suatu pemilihan umum ialah menfokuskan perhatian masyarakat pada kampanye yang sedang berlangsung serta berbagai informasi seputar kandidat dan isu politik lainnya. Walaupun mungkin tidak memberi dampak langsung untuk merubah perolehan jumlah suara, namun media tetap mampu mempengaruhi banyaknya suara yang terjaring dalam suatu pemilu.
(d) sistem politik Media ini tidak hanya mempengaruhi politik dengan fokus tayangan, kristalisasi atau menggoyang opini publik. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, media sekarang ini tidak terlalu mementingkan tujuan utama dari media itu sendiri. Banyak media yang telah mengesampingkan aturan-aturan yang semestinya diperhatikan untuk menghindari ketidak-efektifan dari acara atau pun materi yang disiarkan. Aturan-aturan yang dikesampingkan itu lah yang kemudian membawa dampak negatif kepada masyarakat. Media massa yang memiliki efek paling kuat terhadap masyarakat dalam hal peniruan adalah televisi.
“Televisi adalah metamedium, instrumen yang tidak hanya mengarahkan pengetahuan tentang dunia" (Kompas, 10 September 1996) dalam Dedi Mulyana (1997). Media menawarkan ideologinya sendiri yang khas. Dengan tayangan yang batas-batasannya begitu cair: berita, fiksi, propaganda, bujukan (iklan), hiburan, dan pendidikan, TV mencampuradukkan berbagai realitas pengalaman kita yang berlainan: mimpi, khayalan, histeria, kegilaan, halusinasi, ritual, kenyataan, harapan, dan angan-angan, sehingga kita sendiri sulit mengidentifikasi pengalaman kita yang sebenarnya. Dari sinilah kita harusnya mulai berpikir tidak hanya tentang manfaat dari media tetapi juga bagaimana membentengi diri dari dampak negatif media.
Dan saat ini disadari atau tidak media telah mencapai taraf memberi andil terhadap penurunan bahkan kepunahan budaya lokal. Betapa minimnya pengetahuan masyarakat global ini terhadap akar budayanya sendiri. Sistem budaya lokal yang seharusnya berfungsi membuat masyarakat bertahan hidup dan relatif tentram, kini setelah mengalami sinkronisasi budaya, justru menyebabkan masyarakat bingung, gagap, tak berdaya, mengalami konflik dan geger budaya di negara mereka sendiri. Budaya televisi, meminjam ungkapan Taufik Abdullah, adalah ‘budaya pop’ yang melarutkan identitas dalam keseragaman yang dangkal sehingga kita kahilangan kemampuan untuk mendefinisikan jati diri bangsa kita. Harry Susianto, psikolog sosial dari Universitas Indonesia mengatakan bahwa masyarakat yang terus-menerus dicekoki nilai-nilai kekerasan lama-kelamaan menganggapnya lumrah dan tidak lagi sensitive. Akibat luasnya adalah nilai-nilai dan norma menjadi kacau. Baik dan benar menjadi rancu.
Pengaruh media televisi dengan tayangan-tayangan yang menarik, telah berdampak terhadap pengaruh moral dan karakter pemirsa, bahkan cenderung menggiring pemirsa kepada kehidupan bebas nilai. Mengutip pernyataan Jos Rizal Manua, sutradara dan pendiri teater, bahwa masyarakat yang mengkonsumsi media cenderung lebih suka mengikuti apa yang dilihat dan didengarnya dari media. Manusia melalui tahapan-tahapan pertumbuhan , dalam tiap tingkatan tersebut dapat dilihat di mana sebenarnya peran media –baik cetak maupun elektronik- dalam menimbulkan ‘budaya baru’ dalam kehidupan manusia. Celah-celah kecil yang ada pada setiap tahap perkembangan manusia adalah lahan empuk yang gampang ditembus oleh kekuatan media. Para pengelola media biasanya berlindung di balik pernyataan: "inilah yang diinginkan masyarakat kita" atau "Globalisasi tak dapat dihindarkan". Kita langsung menyerah alih-alih berfikir bagaimana agar kita membuat program-program media yang bermutu, menarik seraya memberdayakan masyarakat, selain secara finansial menguntungkan. Kita lupa bahwa mayoritas masyarakat kita kurang terdidik, dan karenanya kurang kritis, termasuk mereka yang berada di pedesaan. Kita juga lupa bahwa sebagian besar dari pemirsa adalah anak-anak yang cenderung meniru apa yang mereka lihat dalam TV. Kelemahan media televisi ada pada kecenderungannya untuk lebih menyorot hal-hal yang ‘menghebohkan’, seperti huru-hara saat demonstrasi, reaksi elemen masyarakat terhadap kandidat tertentu, dan sebagainya. Kecenderungan ini akhirnya mengabaikan substansi isu politik itu sendiri. Karenanya, keberadaan benda ini sangat besar pengaruhnya dalam proses pembentukan pola pikir dan karakter perilaku suatu masyarakat. Sehingga keberadaannya sangat penting dalam melakukan propaganda untuk kepentingan-kepentingan tertentu.
Hal yang sering muncul setelah seseorang melihat tokoh yang mereka idolakan di media adalah proses imitasi. Menurut Hurley S. dan Nick Charter imitasi adalah proses kognisi untuk melakukan tindakan maupun aksi seperti yang dilakukan oleh model dengan melibatkan indera sebagai penerima rangsang dan pemasangan kemampuan persepsi untuk mengolah informasi dari rangsang dengan kemampuan aksi untuk melakukan gerakan motorik. Proses ini melibatkan kemampuan kognisi tahap tinggi karena tidak hanya melibatkan bahasa namun juga pemahaman terhadap pemikiran orang lain. Pengaruh yang diingat seseorang melalui bacaan relative kecil, sekitar 15% saja. Namun pengaruh tersebut akan meningkat bila disertai suara bahkan adegan visual yang hidup. Pengaruh yang ditimbulkan dalam kondisi tersebut bisa mencapai lebih dari 50%.
Dampak negatif yang ditimbulkan pun bermacam-macam, mulai dari sifat malas yang biasa dialami oleh anak-anak, hingga terjadinya tindakan kriminal. Hal yang paling memprihatinkan adalah bertambahnya kasus kriminalitas yang terjadi di Indonesia hanya karena si pelaku kejahatan terinspirasi oleh ‘tokoh kejahatan’ yang sering mereka lihat di televisi. Berdasarkan catatan Litbang Kompas, sejak Januari hingga November 2008 telah terjadi 13 peristiwa pembunuhan dengan mutilasi di Indonesia. Bahkan dua dari kasus pembunuhan yang disertai mutilasi tersebut terjadi karena si pelaku terinspirasi oleh kasus mutilasi yang pernah mereka lihat di televisi. Contohya saja pada kasus mutilasi yang dilakukan Sri Rumiyati terhadap suaminya, Hendra. Pelaku mengaku bahwa dia memutilasi suaminya karena terinspirasi oleh Ryan yang memutilasi Heri Santoso. Selain itu, kasus mutilasi yang dilakukan oleh Agus Naser kepada Ny. Diah pada tahun 1989 pun diinspirasi oleh peristiwa penemuan mayat yang terpotong 13 di Jl. Jenderal Sudirman, Jakarta.
Selain pembunuhan, tindakan kriminalitas yang sering ditiru adalah pelecehan seksual. Sekitar 90 persen tindak pidana pemerkosaan yang terjadi pada masyarakat Indonesia dilatar belakangi tontonan pornografi serta pornoaksi dari berbagai media massa serta dari informasi massa lainnya.
"Berdasarkan data dari Associated Press, negara kita merupakan negara kedua setelah Rusia yang paling banyak menebarkan pornografi serta pornoaksi itu," ujar Ketua Komite Indonesia untuk Pemberantasan Pornografi, dan Pornoaksi (KIP3) Pusat, Juniawati T Masjchun.
Ade Erlangga Masdiana, kriminolog dari Universitas Indonesia, dalam Kompas 10 November 2008 mengatakan bahwa proses peniruan atau imitasi kejahatan merujuk pula pada teori imitasi oleh sosiolog asal Perancis, Gabriel Tarde (1843-1904).
“Society is imitation. Masyarakat selalu dalam proses meniru. Ketika orang tiap hari dicekoki nilai-nilai keras, kasar, masyarakat pada akhirnya meniru.”
Bagi anak-anak, kegiatan menonton televisi bisa jadi merupakan satu keharusan. Bahkan, ada anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya di depan televisi. Dengan begitu, iklan, tayangan dan tampilan pada media pun bisa menjadi salah satu model bagi bayi dan anak-anak. Sebagai contoh, tidak lama setelah perayaan Idul Fitri seorang ibu terkejut melihat anaknya menangkupkan tangan dan menundukkan kepala di depan televisi. Setelah diselidiki, ternyata tayangan di televisi menunjukkan seseorang sedang melakukan hal yang sama sambil mengucapkan “selamat hari raya Idul Fitri. Minal aidin wal faizin. Mohon maaf lahir dan batin.” Dari kasus ini, secara sederhana dapat kita simpulkan bahwa perilaku meniru merupakan kebiasaan yang sudah muncul sejak masa bayi. Kalau kita menilik kembali, ada banyak kasus yang terjadi pada anak-anak berkaitan dengan pengaruh media. Misalnya, kekerasaan pasca menonton acara smackdown. Dampak Smackdown Terhadap Psikologis Anak-anak
Seorang anak di bandung tewas diduga telah dismackdown oleh teman mainnya. Akhirnya slah satu TV swasta langsung divonis sebagai biang keladi kekerasan anak yang lakukan akibat acara smackdown yang ditayangkannya. Berbagai pihak akhirnya mengultimatum agar acara ini dihapus alias tidak ditayangkan lagi.
Ultimatum ini tentunya bukan tanpa dasar yang jelas. Berikut ini merupakan data yang berhasil didapat yang termuat dalam buletin studia edisi 319/tahun ke-7(11 september 2006):
1. Reza Ikhsan Fadillah, 9 tahun, siswa SD Cingcing 1 Ketapang, Soreang, Bandung (meninggal 16 november 2006),
2. Angga Rakasiwi (11 th), siswa SD 7 Babakan Surabaya (dijahit lima jahitan di kening),
3. Fayza Raviansyah (4 tahum 6 bulan), siswa TK Al-Wahab Margahayu, Bandung (luka, muntah darah),
4. Ahmad Firdaus (9), siswa kelas III SD 7 Babakan Surabaya (pingsan),
5. Nabila Amal (6 tahun 6 bulan), siswa kelas I SD Margahayu Raya 1, Bandung (patah tulang paha),
6. Mar Yunani, siswa kelas III SD Wates Kulonprogo, Yogyakarta (gagar otak), dan
7. Yudhit Bedha Ganang (10), siswa kelas V SDN 5 Duren Tiga, Jakarta Selatan (luka pada kepala dan kemaluan).
McLuhan seorang ahli psikologi komunikasi berpendapat bahwa manusia berhubungan dengan televisi sudah tidak hanya melihat atau menonton lagi, tapi sudah terlibat didalamnya. Ditambah dengan kemajuan teknologi sekarang dan berbagai permainan yang berbau kekerasan. Prilaku anak dapat dijerumuskan dalam tayangan atau game yang lebih melibatkan imajinasi, ilusi, dan impresi anak secara langsung.
Hal ini menjadi satu bukti bahwa anak (bahkan) mempunyai kecenderungan untuk meniru hal-hal yang bersifat ‘membahayakan’ –baik secara fisik atau mental- dikarenakan rasa ingin tahunya itu tanpa mempertimbangkan apakah hal itu berpengaruh pada dirinya atau orang lain. Menurut banyak studi, sekitar 60% hingga 70% orang tua melaporkan bahwa anak-anak mereka meniru kebiasaan dan perilaku idola mereka di televisi seperti ekspresi, ucapan, pakaian, dan gaya luar idola tersebut. Prilaku imitative atau meniru sangat menonjol pada anak-anak. Permasalahan ini diperparah karena kemampuan berpikir anak-anak yang masih sederhana. Maka cenderung berfikir apa yang ada di televisi adalah yang sebenarnya. Anak-anak masih sulit membedakan antara yang fiktif dan nyata. Anak-anak juga masih sulit membedakan antara yang baik sesuai norma dan etika, agama dan hukum. Ron Solby dari Universitas Hardvard secara terperinci menjelaskan beberapa dampak kekerasan dalam televisi. Diantaranya terhadap dampak agresor anak.
Dampak lainnya anak menjadi penakut dan semakin sulit mempercayai orang lain. Dampak pemerhati, anak kurang peduli terhadap kesulitan orang lain. Dampak nafsu adalah meningkatnya keinginan anak untuk melihat atau melakukan kekerasan dalam mengatasi setiap persoalan.
Menurut Aletha Huston, Ph.D dari University of Kansas, anak-anak yang menonton kekerasan di TV lebih mudah dan lebih sering memukul teman-temannya. Tak mematuhi aturan-aturan kelas, membiarkan tugas tidak selesai, dan lebih tidak sabar dibanding teman-temannya yang tidak menonton kekerasan di TV. Dari berbagai pernyataan diatas jelaslah bahwa smackdown merupakan sebuah tontonan yang dapat mempengaruhi kejiwaan anak-anak. Karena smackdown merupakan adegan yang mempertontonkan kekerasan. Dan juga diperparah lagi karena dalam adegan smackdown tidak jarang ditemui adegan saling umpat dan ejek. Karena pada dasarnya tontonan ini merupakan tontonan yang paling banyak adegan mengumpat, mengejek dan saling pukul. Maka jikalau anak-anak menonton adegan ini maka secara lambat laun rusaklah moral anak tersebut.
Siapa Yang Bertanggung Jawab
Berbagai pihak tampaknya berperanan dalam terjadinya kekerasan pada anak yang diakibatkan televisi. Orang tua, guru, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi perlindungan anak, lembaga swadaya masyarakat, media masa atau instansi pemerintah berperanan dalam pencegahan permasalahan ini. Melihat berbagai permasalahan yang ada tersebut, tampaknya orang tua yang paling berperanan dalam proses pencegahan terjadi kekerasan yang diakibatkan oleh media elektronik. Orangtua harus mencermati perilaku anaknya secara cermat. Bila anak berperilaku agresif sebaiknya harus berkonsultasi dengan profesional kesehatan. Orang tua dengan anak berperilaku seperti itu harus lebih waspada dalam penggunaan media elektronik yang berkaitan dengan kekerasan. Orang tua lebih dulu membuat batasan pada dirinya sebelum menentukan batasan bagi anak-anaknya. Usahakan televisi hanya menjadi bagian kecil dari keseimbangan hidup anak. Anak-anak perlu punya cukup waktu untuk bermain bersama teman-teman dan mainannya, untuk membaca cerita dan istirahat, berjalan-jalan dan menikmati aktifitas lainnya bersama keluarga. Harus ditetapkan jenis permainan atau tontonan serta seberapa banyak kegiatan menonton televisi dan bermain playstation bisa dilakukan. Perencanaan ini bertujuan agar kegiatan itu hanya sebagai pilihan, bukan kegiatan utama.
Pengelola stasiun televisi hendaknya mempunyai tanggung jawab moral terhadap program yang ditayangkannya. Persaingan di antara stasiun televisi kini semakin ketat. Mereka bersaing menyajikan acara-acara yang digemari penonton, bahkan tanpa memerhatikan dampak negatif dari tayangan tersebut. Padahal penonton televisi sangatlah beragam, di sana terdapat anak-anak dan remaja yang relatif masih mudah terpengaruh dan dipengaruhi. Sementara itu para orang tua terus sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, tanpa memperdulikan kondisi yang tengah terjadi antara televisi dan anak-anaknya. Seringkali stasiun televisi sudah merasa cukup menjalankan produksi pemberitaan dan informasi bertema kriminalitas sesuai dengan kaidah teknis objektivitas berita, tanpa mau mempertimbangkan dampak etis pemberitaannya.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi perlindungan anak, lembaga swadaya masyarakat, media masa atau instansi pemerintah terkait secara lintas instansi bekerjasama secara berkesinambungan dan tanpa henti mengevaluasi, mengkritisi, mengkoreksi atau kalau perlu memberi teguran dan sangsi sesuai wewenangnya. Semua bentuk kekerasan yang terdapat pada berbagai media eletronik seperti televisi, VCD play station, internet, atau berbagai bentuk game elektronik yang berkaitan dengan anak harus diawasi secara ketat. Jangan sampai setelah banyak timbul korban, baru tersadar dan akhirnya perilaku saling menyalahkan yang terjadi. Harus disadari ancaman pengaruh media eletronik terhadap perilaku kkerasan anak trnyata bukan hanya sekedar acara smackdown.
Kesimpulan

Media mampu mempengaruhi tingkah laku masyarakat. Tindakan yang sering dilakukan masyarakat sebagai dampak dari media adalah proses imitasi. Masyarakat melakukan imitasi terhadap tokoh yang dibangakan karena adanya keinginan untuk menjadi seperti tokoh tersebut. Hasil dari proses imitasi tersebut bisa berupa hasil yang positif maupun hasil yang negatif. Akan tetapi sebagian besar dari hasil proses imitasi tersebut adalah yang bersifat negatif. Hasil-hasil yang bersifat negatif tersebut justru menambah catatan tindakan kejahatan yang terjadi di Indonesia. Media yang paling berpotensi dalam hal terjadinya proses imitasi di kalangan masyarakat adalah televisi. Berita criminal, acare reka ulang peristiwa, maupun film-film yang menayangkan kekerasan dapat merangsang pemirsa untuk melakukan hal yang sama dengan apa yang mereka lihat di televise ketika mereka berada dalam posisi dan situasi yang sama dengan tokoh kejahatan tersebut.
Seharusnya pihak media lebih cermat dalam menyiarkan acara maupun materi. Media juga sebaiknya memperhatikan konsumen yang dapat mengakses informasi tersebut. Media juga sebaiknya tidak menjelaskan modus operandi kriminal secara detail yang akan menginspirasikan masyarakat untuk melakukan kriminal secara rapih. Selain itu pihak media, terutama media televisi haru mengatur jam tayang dari acara maupun film yang mengandung kekerasan. Jangan sampai acara tersebut ditonton oleh anak-anak di bawah umur karena anak-anak memiliki kecendurangan untuk meniru hal-hal yang bersifat membahayakan karena pada dasarnya mereka memiliki rasa keingin tahuan yang amat besar.






DAFTAR PUSTAKA

www.serambi_online.com
www.google.com
Kompas edisi Senin, 10 November 2008
Hurley, S. dan Nick Charter. Perspectives on Imitation. Cambridge, MA : MT press, 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar